Wednesday, September 22, 2010

PR nenankan siswa saat LIBURAN

alam menghadapi liburan panjang pada lebaran ini yang dijalani siswa SD, SMP, SMA/SMK disiasati sejumlah sekolah dengan pemberian tugas pelajaran yang cukup banyak. Pihak sekolah menilai pemberian pekerjaan rumah (PR) itu agar siswa tidak terlupa dengan tugasnya sebagai pelajar.

Pemberian PR oleh para guru itu bagi banyak siswa dianggap sebagai pengekangan kebebasan mereka menikmati masa liburan setelah berhari-hari hingga berbulan-bulan berkutat dengan pelajaran di sekolah.
Seperti pengakuan Muhammad Nasir (17) siswa SMK di Jalan Gedung Arca Medan. Menurutnya, pemberian PR di masa liburan seperti lebaran ini sebagai tugas yang menjengkelkan dan menghambat keasyikan suasana liburan, apalagi jika mudik.

"Di saat sedang menikmati liburan lebaran, pikiran kita menjadi tidak sepenuhnya riang sebab masih ada PR yang belum selesai dikerjakan. Apalagi jika tugas yang diberikan itu termasuk sulit," ujar Nasir.

Hal senada juga dikatakan Lia Sufianti (11) siswa kelas V sekolah dasar di Jalan Arif Rahman Hakim Medan. Bagi Lia PR yang diterimanya selain tentang kegiatannya selama di bulan Ramadan juga tugas pelajaran.

Untuk tugas-tugas dan kegiatan selama bulan Ramadan seperti berpuasa, shalat wajib atau Tarawih dan tadarus diakui Lia bisa dilaksanakannya. Namun terhadap tugas pelajaran, baginya menjadi beban karena ada pelajaran yang tidak dipahaminya.

Kegiatan Ekstrakurikuler

Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta Indonesia (BMPSI) Wilayah Sumut Drs H Ahmad Hosen Hutagalung menyebutkan, pemberian tugas di suasana liburan panjang ini merupakan bahagian dari pekerjaan siswa yang bertujuan agar anak-anak jangan terlalu banyak bermain, sehingga lupa membuka-buka buku pelajarannya.

"Anak-anak itu memang seharusnya mau membuka-buka buku pelajarannya, meskipun hanya sesaat. Jadi tugas rumah itu termasuk kegiatan ekstrakurikuler," ujar anggota dewan ini yang baru dilantik ke dua kalinya di DPRD Sumut.

Menurut Hosen yang juga Ketua Pendidikan Dasar dan Menengah PW Muhammadiyah Sumut, pada liburan panjang selama bulan Ramadan hingga lebaran ini, para guru memang banyak memberikan tugas kepada siswanya yang dinilainya suatu hal bermanfaat karena sebatas kegiatan mereka selama Ramadan.

Namun jika pemberian tugas pada berbagai mata pelajaran terutama bidang eksakta, Hosen mengaku bisa berdampak bagi siswa yang menimbulkan beban dan mempengaruhi psikologisnya jika tidak mampu mengerjakannya.

Demikian juga bagi orangtua yang tidak mampu membantu mengerjakan tugasnya itu. Akibatnya bukan tidak sedikit pula orangtua menjadi uring-uringan gara-gara PR anaknya tidak siap karena tidak paham untuk membantu tugas anaknya.

Hosen berharap PR yang diberikan haruslah mempunyai kegunaan dan bisa dimengerti siswa, seperti tentang kegiatan Ramadan maupun pelajaran sosial, bukan eksakta. Sebab tingkat inteligensi setiap anak berbeda.

"Kepada para guru hendaknya tidak memberikan sanksi kepada anak didiknya jika ada di antara mereka yang tidak mampu mengerjakan tugasnya," tegas Hosen.

Wajar

Secara terpisah Kepala SMA Harapan Sofyan Alwi mengatakan, sebenarnya pemberian PR bagi siswa terutama bagi siswa yang sudah SMA merupakan suatu hal yang wajar.

Sofyan mengaku, pemberian PR itu untuk memacu mereka belajar, walaupun tidak baik belajar hanya kalau ada PR sebab dengan PR memberi mereka tanggungjawab untuk belajar. Bahkan dengan tugas-tugas itu mereka pun bisa menjadi kreative dengan mencari bahan-bahan melalui internet, kerja kelompok dan sebagainya, sehingga itu baik bagi perkembangan mereka.

Namun dalam pemberian PR, menurut Sofyan tidak menjadi hal yang memberatkan bagi siswa. Jika ada di antara mereka yang tidak paham, maka pihak sekolah tidak akan memberikan hukuman, melainkan akan menjelaskannya sampai siswa itu mengerti.

Sementra pengamat pendidikan Prof Berferik Manulang menyebutkan, strategi memberikan PR ini bertujuan agar siswa tetap membuka buku walaupun sedang liburan sekolah.

Menurutnya, tugas akademik itu adalah salah satu bentuk pengendalian kepada siswa, dengan begitu motivasi belajar siswa tetap terjaga.

Belferik mengatakan, di satu sisi pemberian PR hanya akan membebani anak, sehingga anak kehilangan waktu bermain. Namun di sisi lainnya PR itu bisa membentuk anak agar mampu mengatur maupun mengelola waktunya sendiri.

Pemberian "beban"bagi siswa berupa pekerjaan rumah (PR) pada masa libur seperti menjelang lebaran ini, menurut Psikolog Elviati Ahmad sebagai hal yang wajar.

"Ini satu hal yang wajar," katanya seraya menyebutkan bentuk-bentuk PR yang diberikan hendaknya lebih fokus pada tugas-tugas pelajaran yang berkaitan dengan ilmu sosial dan bukan eksakta seperti matematika, fisika.

Menurutnya, jika PR yang diberikan itu dengan materi eksakta, para siswa tidak akan mengerti dan paham sebab pelajaran itu memerlukan penjelasan dan rumusan. Namun psikolog ini juga menyebutkan dalam melaksanakan tugas tersebut para anak-anak ini jangan terlalu memikirkannya. Jika memang tidak mampu bisa disampaikan kepada guru nantinya, sehingga tidak menjadi beban.

Pemberian tugas PR itu kata Elviati hendaknya hanya sekadarnya saja, bukan menjadi suatu kewajiban apalagi diancam dengan pemberian sanksi. Karena anak sekarang ini menurutnya tidak sedikit yang ikut bimbingan belajar dengan guru mereka di sekolah ataupun di tempat-tempat bimbingan belajar lainnya.

"Belum lagi ada aktivitas belajar di sekolah yang full day. Sehingga semua tugas-tugas sekolah yang dibebankan para guru dibahas pada saat itu juga. Dengan demikian tidak akan menjadi beban lagi ketika dibuka kembali di rumah," katanya.

Selain itu dengan pemberian tugas PR itu menurut Elvi sebenarnya tergantung pada anaknya. Bisa diperkirakan yang betul-betul menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan guru di sekolah hanya sekitar 1 persen saja. Karena itu sesuai dengan hakikat dari pemberian PR agar anak belajar mengatur dirinya sendiri dan mengulang pelajaran yang telah diberikan di sekolah sehingga merasa lebih menguasai atas pelajaran yang sudah diperolehnya di sekolah tersebut. Bukan sebagai beban ataupun hal yang memberatkan siswa.

Sunday, September 19, 2010

Fenomena "Alay" di Kalangan Generasi Muda

Kring…. bunyi ponsel saya berdering dan langsung saya buka ada SMS dari rekan saya yang tidak perlu saya sebutkan namanya. Setelah dibuka isi SMS itu… Pusing pisan, bacanya soalnya tulisannya itu ngga tau pake bahasa apa. Tapi setelah saya telusuri huruf per huruf ternyata isinya nanyain nanti mau pulang ke rumah ngga?. Asal kalian tau, waktu yang saya butuhkan untuk memahami SMS itu sekitar 10 menit.Itulah sekelumit pengalaman saya mengenai fenomena kata-kata aneh yang saat ini sedang musim dan selalu eksis di Facebook, Twitter, SMS dan lain-lain. Orang-orang di kaskus menyebut bahwa orang-orang yang menggunakan bahasa-bahasa aneh itu disebut dengan ALAY.

Setelah saya mencoba mencari apa sih yang disebut dengan alay. Akhirnya setelah membaca beberapa sumber akhirnya saya simpulkan alay adalah singkaran dari “anak layangan”. Pokoknya anak anak nora banget, gayanya sok asik.

Secara teknik ada beberapa cara orang nulis yang katanya disebut dengan tulisan alay diantaranya adalah :

Menulis dengan mencapur adukan huruf besar dan huruf kecil dan terkadang dengan simbol-simbol.
Menulis dengan mencampur adukan antara bahasa asing dengan bahasa Indonesia disertai dengan menambah-nambahkan huruf yang ngga penting.
Jika fenomena ini dibiarkan, maka mungkin 10 atau 20 tahun mendatang kita akan kehilangan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Padahal mereka, di sekolah masing-masing diajarkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mungkin pola pikir mereka yang memandang bahwa jika menggunakan kata-kata “alay” seperti itu terlihat gaul oleh teman-temannya.

Untuk mencegah fenomena “alay” yang merebak di facebook, maka akhir-akhir ini facebook melarang penggunaan nama yang mengandung karakter-karakter “alay”

Berikut ini adalah link ke sebuah posting di kaskus yang menjelaskan mengenai ciri-ciri alay.